Pages

Senin, 08 November 2010

Sembilan Tantangan di Jalan Pacaran


Tantangan ke-1 : Rasa Kecewa
            Jangan dikira, tantangan rasa kecewa itu akan mudah kita hadapi. Mengapa? Karena ketidaksempurnaan yang menimbulkan penyesalan itu tidak hanya mengenai terputusnya hubungan pacaran. Biarpun hubungan pacaran kita tidak terputus, rasa kecewa itu selalu membayang-bayangi kita di Jalan Pacaran. Bagaimanapun, menurut penelitian Notarius & Markman, di dalam hubungan akrab dengan lawan-jenis itu selalu terkandung “segudang harapan” yang menjulang tinggi dan seringkali kurang realistis. Ngaku deh, kita berharap si dia (dan diri kita sendiri) berubah menjadi lebih baik, romantis, cakep, pinter, alim, setia, jujur, dan lain-lain. Namun, acapkali kenangan tidak semanis harapan kita. Padahal, setiapa kali kenyataan pahit itu tak terantisipasi, rasa kecewalah yang kita derita.


Tantangan ke-2 : Sifat Takabur
            Kita gampang menderita kecewa kalau suka memperhitungkan kebaikan diri atau jasa yang diberikan kepada sang pacar (atau yang diterima dari sang pacar sebagai balasan atau imbalan atas jasa itu). Di samping itu, perhitungan ‘matematis’ ini dapat mengarah pada kebanggaan yang berlebihan, atau tidak pada tempatnya. Siapa sih diantara kita yang tidak bangga lantaran mampu membahagiakan si dia dengan tulus mengorbankan segalanya? Siapa sih di antara kita yang tidak berbunga-bunga manakal dipuja, dicinta, dipercaya, dibutuhkan, diistimewakan? Apalagi kalau yang membuat jiwa kita melambung itu orang yang paling kita harapkan cintanya.


Tantangan ke-3 : Sifat Munafik
            Untuk lebih mewaspadai betapa seriusnya tantangan sifat munafik ini, ada baiknya kita simak kisah dari cerpen Arie MP Tamba, “Langit Merah Muda” :

           

“Puuunten...!” sapaku suatu sore.
            “Wah, siang-siang begini sudah datang... Apa nggak punya kesibukan, nak Robert?” sahut ibu kosmu yang sore itu kebetulan mau keluar.
            Ujian semester masih lama. Hari-hari kuliah ibarat kerja rutin yang memboyakkan. Dengan menyuguhkan senyum sopan, namun di dalam hati terdengar letup kemarahan yang kuredam, kusahuti ibu kosmu, “Ini, Bu. Ada janji dengan Mita...”
            Selalu bohong-bohong kecil. Bohong-bohong kecil yang sudah menyatu sedemikian rupa dengan kepribadian. Bahkan bohong-bohong kecil itu menjadi kreatif dan penuh nuansa. Coba, apa pernah kita mendiskusikan sebelumnya tentang ‘kunjungan ke rumah sakit’ yang mau kita lakukan itu?
            Karena sadar bahwa ibu kos masih mengintai kita (ia menunda kepergiannya karena kedatanganku), dengan berlagak kelupaan kau menggaruk-garuk kepala dan berkata, “Wah, aku benar-benar lupa. Untung kau datang lebih cepat... Bu, Bu, kami mau ke rumah sakit. Mau membesuk pamannya Robert ini!”
            Ibu kosmu terpaksa ramah dan mulai bertanya ini itu tentang penyakit pamanku. Dan setengah jam kemudian, dalam perjalanan menuju bioskop, tak puas-puasnya kita tertawa. Menertawakan bohong-bohong kecil dan kekonyolan kita.
            “Pulang kita bawa buah,” katamu.
            “Iya,” sahutku. Masih merasa lucu, karena tiba-tiba aku telah memiliki seorang paman yang sedang terbaring di rumah sakit. Sejak kapan aku punya paman di kota Bandung itu? Hahahaha...
            [Beberapa minggu/bulan kemudian] di penginapan kecil di daerah Kebon Kelapa. Dengan rasa curiga dan ingin tahu kau mengikuti langkahku. Daripada karena takut oleh sikap kasar yang kuperlihatkan ketika mencekal tanganmu, wajahmu merah padam lebih karena tiba-tiba ‘belum banyak’ mengenalku. Terutama, sejak minggu-minggu terakhir, ketika aku banyak menghindarimu.
            Sore itu, kelihatan sekali kau ingin tahu, sampai di mana aku ‘bisa jauh’ dan ‘asing’ darimu. Kau, oleh sesuatu yang kau agungkan dalam dirimu, merasa harus terlibat sampai ‘ke akar’. Merasa harus tahu sampai di mana aku bisa sembunyi, jauh dari jangkauan... cintamu; apa namanya...
            Tapi yang menuntunku kesana adalah kebencian, Mita. Hasrat gelap ingin menyakiti. Ada rasa kecewa dalam diriku ketika menyadari teman-teman kuliah seangkatanku sedang dilantik menjadi sarjana ekonomi, sementara aku masih harus menunggu setahun lagi karena tertinggal beberapa mata kuliah. Dan kau pun muncul di kamar kosku sore itu, dengan senyum manis yang segera mendorongku berbuat keji.
            Di penginapan kecil di daerah Kebon Kelapa. Belum seminggu berlalu, seorang gadis SMA berbaring di ranjang yang sama. Berkeringat dan menggeliat tanpa sedikit pun rasa malu. Sedang tubuhmu, diam meringkuk, sementara wajahmu terbakar malu.
            Selamat tinggal kota Bandung, kataku esok paginya.

            Begitulah. Begitu banyak korban berkaparan dilalap ‘serigala berbulu domba’. Kemarin ada korban, hari ini ada korban, besok pun mungkin ada korban lagi. Tampaknya tantangan kemunafikan ini tetap saja sering terlupakan. Tapi ini belum seberapa. Masih ada tantangan serius lain yang lebih terabaikan.


Tantangan ke-4 : Rasa Cemburu
            Di antara sembilan tantangan utama di Jalan Pacaran, mungkin rasa cemburulah yang paling dikenal dan (ironisnya) paling diabaikan. Gimana nggak? Semua orang bilang, cemburu pertanda cinta. Kalau tak ada cemburu, tak ada cinta. Padahal, cemburu itu menyakitkan dan bisa mengubah cinta menjadi benci dan dendam.


Tantangan ke-5 : Sifat Pelit
            Sebagaimana rasa cemburu, sifat pelit pun tergolong tantangan yang paling terabaikan. Bedanya, rasa cemburu terabaikan lantaran terlalu dikenal, sifat pelit terabaikan lantaran kurang dikenal.
Ø Benarkah pelit itu tantangan di Jalan Pacaran?
Ø Bukankah biasanya kita malah royal sama si dia?

Itulah. Kita sering ‘dermawan abis’ sama si dia, tapi pelit terhadap ‘orang lain’ yang boleh jadi justru lebih berhak menerima ‘sedekah’ kita.
            Ingat, dalam pacaran terdapat segudang harapan. Kita pengen, pengen banget, hubungan kita sukses. Untuk itu, lebih-lebih karena manusia adalah makhluk sosial, kita pasti membutuhkan dukungan dari orang-orang lain, khususnya yang dekat sama kita. (Bila kita kikir terhadap mereka, mana mungkin kita peroleh dukungan dari mereka?) Emang sih, sering kali kita baru ngerasain kebutuhan ini ketika kita sudah ‘jatuh dan tertimpa tangga’. Selain itu, pelit terhadap orang lain dan royal kepada sang pacar membuat penyaluran energi kita terfokus pada si dia saja, sehingga cenderung berlebihan. Mudah pula si pacar menjadi sasaran pelampiasan emosi.
            Nah! Sifat pelit itu tantangan serius, kan? Makanya, ini harus kita pertimbangkan matang-matang sewaktu kita hendak ataupun sudah jadian.


Tantangan ke-6 : Rasa Cemas
            “Horeee...!” Mungkin itu sorak-sorai batin kita saat jadian. Namun, kita segera disergap rasa takut kehilangan si dia. Ikatan sudah ada, tapi belum sekuat ikatan perkawinan. Siapa tau, sewaktu-waktu ada kompetitor yang ngajuin ‘proposal’ yang lebih menggiurkan si dia. Bisa-bisa kita tersisih sebelum ‘masuk final’. Belum lagi, kalau masa menunggu peresmian hubungan di depan penghulu itu berlangsung lamaaa dan lamaaa...
            Rasa takut kehilangan si dia, takut dianggap tak setia, takut putus hubungan, bisa menyebabkan cewek-cewek tertantang saat ditodong sang pacar, “Buktikan cintamu padaku!” Celakanya, meskipun semuanya telah diserahkan untuk ‘bukti cinta’, rasa cemas itu tak berkurang, tetapi justru bertambah. Ironis.


Tantangan ke-7 : Sifat Rakus
            Berbeda dari rasa cemas, sifat rakus sering sulit untuk dikenali, terutama bila tumbuh bersamaan dengan sifat munafik. Sifat ‘buaya darat’ ini bisa bersembunyi atau tersembunyi di balik dorongan ‘manis’. Kalian tentu pernah dengar hadits, bahwa walaupun mempunyai dua lembah emas, manusia masih tetap menginginkan lembah emas yang ketiga. Karena itu, sifat rakus bisa pula ngumpet di balik kata-kata.
            Menjadi ‘petualang cinta’ yang rakus itu tidak selalu bermodus playboy (atau playgirl). Sifat rakus di dunia asmara bisa berpola gonta-ganti pasangan. Tanda-tandanya, tak betah ngejomblo lama-lama, jadian bukan demi kebutuhan psikologis atau menuju siap nikah, melainkan lantaran ‘iseng’. Pola gonta-ganti pasangan ini bisa saja tidak bergandengan dengan sifat munafik. Akan tetapi, jika tidak disertai dengan sifat munafik sekalipun, tantangan sifat rakus ini tak kalah seriusnya. Bentuknya yang paling membahayakan adalah pengumbaran nafsu birahi tanpa malu-malu.


Tantangan ke-8 : Sifat Otoriter
            Lain dengan sifat rakus yang kekanak-kanakan, sifat otoriter justru ‘ketua-tuaan’. Kenapa? Karena, orang yang otoriter itu memandang dirinya ‘ketua’. Orang lain diperlakukannya bagai bayi yang bisa disetirnya seenak perutnya.
            Selain pada ‘main kasar’, sifat ingin menguasai orang lain itu tampak jelas dalam bentuk ancaman. Perlu kita perhatiakan, ancaman itu tidak selalu diungkap secara verbal. Ngambek, mogok bicara, uring-uringan ketika sang pacar melakukan sesuatu yang kita benci merupakan gejala otoriter pula. Selain itu, sifat otoriter muncul pula dalam wujud sikap menggurui.



Tantangan ke-9 : Sifat Malas
            Berbeda dari sifat rakus yang mendorong kita bergerak liar ke segala arah, sifat malas membuat kita terlalu tenang, tak beranjak kemana-mana. Akibatnya, urusan-urusan penting menjadi tertunda-tunda dan bahkan bisa sampai terbengkalai.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Apakah anda siap menjalaninya???

cahayamata mengatakan...

insya Allah om :)

Posting Komentar