Pages

Jumat, 06 Januari 2012

Tugas Softskill Pertemuan ke 3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Pada beberapa tahun terakhir memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern sudah menjadi tuntutan dan gaya hidup modern yang berkembang dimasyarakat kita. Tidak hanya dikota metropolitan tetapi sudah merambah dikota-kota kecil di Indonesia, sangat mudah dijumpai pasar modern. Hal ini terjadi karena pasar modern mulai bersaing dengan harga produk yang lebih murah dari pada dipasar tradisional.
Marina L. Pandin (2009) mengatakan Pasar Modern adalah tempat penjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga (termasuk kebutuhan sehari-hari), dimana penjualan dilakukan secara eceran dan dengan cara swalayan (konsumen mengambil sendiri barang dari rak dagangan dan membayar ke kasir). Secara persentase dari tahun 2007 hingga 2008, pertumbuhan pasar modern lebih tinggi dibandingkan dengan persentase pasar tradisional, yaitu pasar modern tumbuh 14 persen, sedangkan pasar tradisional hanya 3 persen. Namun, dalam hitungan jumlah, pasar tradisional jumlahnya masih lebih banyak, yaitu 5 8.855 unit, sementara pasar modern hanya 1.061 unit.

Fenomena lain yang membuat konsumen berpindah dari pasar tradisional ke pasar modern yaitu pelayanan dan tempat yang mereka sajikan ke konsumen sangat jauh berbeda. Perbedaan ini dapat dilihat dari segi suasana yang ditawarkan antara pasar tradisional dan pasar modern yaitu pada pasar tradisional, konsumen banyak sekali disuguhi dengan suasana kotor, becek, dan sering kali tidak ada jaminan terhadap barang yang konsumen beli, sedangkan pada pasar modern yang luas dan ber AC dingin, sehingga nyaman apabila konsumen berbelanja, membuat konsumen betah berlama-lama disana, sehingga sangat memungkinkan konsumen untuk berbelanja barang yang lain diluar catatan barang yang sudah konsumen rencanakan (Irfany, 2009).
Keadaan ini merupakan peluang bagi mereka yang mampu memanfaatkan situasi tersebut. Industri ritel telah menjadi salah satu pemenuhan kebutuhan konsumen. Ritel sendiri berasal dari kata retail yang berarti eceran. Bisnis ritel merupakan suatu bisnis menjual produk dan jasa pelayanan yang telah diberi nilai tambah untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, atau pengguna akhir lainnya. Aktivitas nilai tambah yang ada dalam bisnis ritel diantaranya meliputi assortment, holding inventory, dan providing service (Sopiah, 2008).
Bisnis ritel di Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yakni ritel tradisional dan ritel modern. Ritel modern pada dasarnya merupakan pengembangan dari ritel tradisional. Format ritel ini muncul dan berkembang seiring perkembangan perekonomian, teknologi, dan gaya hidup masyarakat yang membuat masyarakat menuntut kenyamanan yang lebih dalam berbelanja.
Industri ritel modern telah berkembang pada tahun 1960-an tepatnya pada tahun 1964 yang ditandai dengan berdirinya sarinah building. Pada awalnya bisnis ritel modern ini didominasi oleh peritel dalam negeri misalnya Matahari, Ramayana, Hero dan sebagainya. Dalam perkembangannya, pada tahun 1998 terjadi kesepakatan antara IMF dengan pemerintah Indonesia mengenai perizinan peritel asing untuk dapat berinvestasi atau membuka gerai tanpa harus berpartner dengan peritel lokal. Hal tersebut merupakan peluang yang sangat menjanjikan bagi peritel lokal maupun asing karena Indonesia memiliki potensi market share sangat besar dengan jumlah penduduk terbesar ke-empat di dunia setelah Cina, Amerika dan India yakni lebih dari 220 juta penduduk, sehingga banyak peritel baik lokal maupun asing mengincar pasar ritel di Indonesia untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar (Cipto, 2009)


1.2 Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, teridentifikasi masalah sebagai berikut : Bagaimana tingkat preferensi konsumen terhadap faktor kualitas barang, kelengkapan barang, jarak, dan waktu buka yang memengaruhi pemilihan tempat untuk belanja? Faktor apa yang paling dominan terhadap keputusan pemilihan tempat belanja masyarakat Depok? Jenis retail apa yang menjadi pilihan masyarakat Depok untuk berbelanja berdasarkan faktor-faktor tersebut?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bisnis Ritel
2.1.1 Gambaran Umum Bisnis Ritel
Ritel berasal dari kata retail yang berarti eceran. Bisnis ritel merupakan suatu bisnis menjual produk dan jasa pelayanan yang telah diberi nilai tambah untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, atau pengguna akhir lainnya. Aktivitas nilai tambah yang ada dalam bisnis ritel diantaranya meliputi assortment, holding inventory, dan providing service (Sopiah, 2008). Bisnis ritel di Indonesia dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu ritel tradisional dan ritel modern. Ritel modern pada dasarnya merupakan pengembangan dari ritel tradisional. Format ritel ini muncul dan berkembang seiring perkembangan perekonomian, teknologi, dan gaya hidup masyarakat yang menuntut kenyamanan lebih dalam berbelanja (Pandin, 2009).

2.1.2 Persaingan Industri Ritel
Sejarah membuktikan, ekonomi pasar merupakan sistem terbaik untuk membangun dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem ekonomi pasar, aktivitas produsen dan konsumen tidak direncanakan oleh sebuah lembaga sentral, melainkan secara individual oleh para pelaku ekonomi. Persainganlah yang bertindak sebagai tangan-tangan tak terlihat yang mengkoordinasi rencana masing-masing. Sistem persaingan yang terbentuk dapat membuat produksi serta konsumsi dan alokasi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan modal menjadi efisien (KPPU, 2001).

2.1.3 Pasar Tradisional
Mengutip dari Perpres No 112 Tahun 2007 Bab I tentang ketentuan umum, dengan jelas mengkategorisasikan tentang konsep dan definisi dari pasar dan pasar tradisional. Lebih detailnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya. Sedangkan Pasar Tradisional sendiri adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.
Lokasi pendirian pasar tradisional wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk peraturan zonasinya (pasal 2) dan pasar tradisional boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lokal atau jalan lingkungan pada kawasan pelayanan bagian kota/kabupaten atau lokal atau lingkungan (perumahan) di dalam kota/kabupaten (pasal 5). Dari ketentuan ini, aspek lokasi pasar tradisional relatif flexible dibandingkan dengan ketentuan lokasi bagi pasar modern dan pusat perbelanjaan, utamanya untuk kelas supermarket, hypermarket/grosir (perkulakan), yang melarang berlokasi di jaringan jalan dengan sistem pelayanan lokal dan lingkungan.
Sedangkan dalam Bab IV Pasal 12 tentang perijinan, dijelaskan bahwa izin usaha pengelolaan pasar tradisional (IUP2T) untuk pasar tradisional diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Pemprov DKI Jakarta. Termasuk dalam perizinan tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 13 harus dilampirkan tentang studi kelayakan termasuk mengenai analisis Amdal, aspek sosial budaya, dampak bagi usaha perdagangan eceran setempat, dan dokumen rencana kemitraan dengan usaha kecil.
Dari Perpres No. 112 Tahun 2007, secara tidak langsung tersirat usaha untuk melakukan harmonisasi antara eksistensi pasar tradisional dan toko modern. Dan dengan jelas, pemerintah berupaya melindungi keberadaan pasar tradisional, yang makin terdesak oleh hadirnya pusat perbalanjaan dan pasar modern, melalui pembatasan lokasi bagi pasar modern dan pusat perbelanjaan, untuk kategori kelas tertentu seperti supermarket dan hypermarket.
Apabila dilihat dari jenisnya, pasar tradisional dibedakan dalam kelas atas hirarkhi sebagai berikut:
a. Menurut kementerian DPU dalam lampiran No. 22 Kep. Menteri PU No. 378/UPTS/1987 Tanggal 3 1-08-1987 tentang pengesahan 33 standar konstruksi bangunan di Indonesia perihal petunjuk perencanaan kawasan kota, menetapkan jenis sarana niga dan industri dalam 5 hirarki, yaitu: warung, pertokoan, pusat perbelanjaan lingkungan untuk 3 0.000 penduduk, pusat perbelanjaan dan niaga untuk 120.000 penduduk, serta pusat perbelanjaan dan niaga untuk 480.000 penduduk.
b. Profil dan direktori pasar di DKI Jakarta (1994) secara berurutan hirarkinya terbagi atas : pasar regional, pasar kota, pasar wilayah, dan pasar lingkungan.
c. Menurut Jahara T.Jayadinata dalam Tandiyar (2007) mendefinisikan bahwa jarak tempuh antara pusat kota dengan pasar dan sebagainya harus bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 30 atau 45 menit, sedangkan pasar lokal harus bisa ditempuh dari lingkungan yang dilayaninya (market area) sampai jarak 3/4 km atau 10 menit perjalanan, sedangkan untuk standar luasnya ditetapkan 500 m2/1 .000 penduduk.

2.1.4 Pasar Modern
Pasar modern adalah tempat penjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga (termasuk kebutuhan sehari-hari), dimana penjualan dilakukan secara eceran dan dengan cara swalayan, konsumen mengambil sendiri barang dari rak dagangan dan membayar ke kasir (Anonymous, 2009).
Menurut Nielsen (2007) dalam Pandin (2009), dalam lima tahun terakhir, pasar modern merupakan penggerak utama perkembangan ritel modern di Indonesia. Pada tahun 2004 – 2008, omset pasar modern bertambah 19,8 persen, tertinggi dibanding format ritel modern yang lain. Omset Department Store, Specialty Store dan format ritel modern lainnya masing-masing meningkat hanya 5,2 persen, 8,1 persen dan 10,0 persen per tahun. Peningkatan omset yang cukup tinggi tersebut membuat pasar modern semakin menguasai pangsa omset ritel modern. Perkembangan market share pasar modern dari tahun 2004 – 2008 meningkat 70.5 persen menjadi 78.7 persen dari total omset ritel modern.
Menurut Tambunan, dkk. (2009) Pasar Modern dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Minimarket
Minimarket merupakan pasar swalayan yang hanya memiliki satu atau dua mesin kasir dan hanya menjual produk-produk kebutuhan dasar rumah tangga (basic necessities) yang telah dipilih terlebih dahulu.
b. Supermarket
Supermarket merupakan pasar swalayan yang memiliki lebih dari dua mesin kasin dan juga menjual barang-barang segar (fresh goods) seperti sayur dan daging selain basic necessities yang lebih beragam dari minimarket.
c. Hypermarket
Hypermarket merupakan pasar swalayan yang memiliki lebih dari lima mesin kasir dan juga menjual basic necessities dan barang-barang segar namun lebih beragam dibandingkan dengan supermarket, selain itu hypermarket juga menjual barang-barang white goods atau elektronik.

2.1.5 Permasalahan Antara Pasar Modern dan Pasar Tradisional
Menurut seorang pakar ritel, Prodjolalito dalam Tambunan dkk., (2004), permasalahan utama antara ritel modern (minimarket, supermarket dan hypermarket) dan ritel tradisional, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta adalah lokasi, di mana ritel modern dengan kekuatan modalnya yang luar biasa berkembang begitu pesat yang lokasinya berdekatan dengan lokasi ritel tradisional. Padahal sudah ada Peraturan Daerah No 2 Tahun 2002 mengenai pengaturan (izin) lokasi bagi ritel modern. Dua komponen penting dari SK tersebut adalah jarak minimum antara ritel modern dengan ritel tradisional, dan jam buka ritel moderen berbeda, yakni antara jam 10 pagi hingga jam 10 malam.
Perbedaan jarak ini dimaksud untuk memberi kesempatan bagi pasar-pasar tradisional untuk tetap bisa mendapatkan pembeli dari masyarakat sekitar pasar tersebut. Sedangkan perbedaan waktu buka adalah untuk memberi kesempatan bagi pasar-pasar tradisional untuk tetap mendapatkan pembeli yang ingin belanja di bawah jam 10 pagi. Meskipun demikian, dengan berkembangnya ritel modern menyebabkan pangsa pasar tradisional dari tahun ke tahun semakin menurun.
Prodjolalito dalam Tambunan, dkk., (2004) pun menyatakan bahwa masih banyaknya pasar yang tetap bisa bertahan hingga saat ini (dan kemungkinan juga di masa depan), walaupun pertumbuhan ritel modern sangat pesat, juga disebabkan oleh adanya perbedaan dalam segmen pasar.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dengan pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Process), preferensi konsumen terhadap faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan lokasi untuk belanja adalah :
a.Dari kriteria kualitas barang, jenis retail yang menjadi pilihan masyarakat Depok berdasarkan urutan tertinggi adalah Supermarket / Hypermarket, Mini Market Franchise, Pasar Tradisional, dan terakhir Toko Kelontong.
b.Kriteria Jarak jenis retail yang menjadi pilihan masyarakat Depok berdasarkan urutan tertinggi adalah Mini Market Franchise, Supermarkett / Hypermarket, Toko Kelontong, dan terakhir Pasar tradisional.
c.Kriteria Waktu Buka jenis retail yang menjadi pilihan masyarakat Depok berdasarkan urutan tertinggi adalah Mini Market Franchise, Toko Kelontong, Pasar Tradisional, dan terakhir Supermarket / Hypermarket.
d.Kriteria Kelengkapan Barang jenis retail yang menjadi pilihan masyarakat Depok berdasarkan urutan tertinggi adalah Supermarket / Hypermarket, Pasar Tradisional, Mini Market Franchise, dan terakhir Toko Kelontong.
2. Berdasarkan masing-masing kriteria tersebut, faktor yang paling dominan terhadap keputusan pemilihan lokasi masyarakat Depok adalah :
a.Kualitas barang
b.Jarak
c.Waktu buka
d.Kelengkapan barang
3. Dalam melakukan pemilihan tempat belanja, dengan pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Process) didapatkan alternatif yang paling baik berdasarkan 4 faktor yang dijadikan kriteria dalam penelitian ini (kualitas barang, jarak, waktu buka, dan kelengkapan barang) , yaitu:
a.Supermarket / Hypermarket
b.Mini Market Franchise
c.Toko Kelontong / Mini Market Bukan Jaringan
d.Pasar Tradisional

3.2 Implikasi
1.Bagi Penulis
Dengan adanya penelitian ini penulis dapat mengetahui seperti apa perkembangan pasar modern dapat merubah pola belanja konsumen pada saat ini.
2.Bagi Masyarakat
Adapun implikasi dari penelitian ini adalah diharapkan masyarakat mendapat referensi dalam mengambil keputusan dalam memilih alternatif tempat belanja terbaik sehingga masyarakat bisa merasakan kenyamanan saat berbelanja.
3.Bagi Retailler
Hasil penelitian ini digunakan sebagai salah satu acuan para pengusaha di bidang retail, khususnya di wilayah Depok dalam memilih alternatif untuk membuka atau mengembangkan usahanya.
4.Bagi Pemerintah
Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan evaluasi bagi Pemerintah Daerah Kota Depok dalam melihat perkembangan pasar pada saat ini. Diharapakan untuk lebih teliti lagi dalam mempertimbangkan penambahan usaha dalam bidang retail dan juga menganalisis lebih lanjut mengenai dampak dari adanya usaha tersebut pada bidang lain, tidak hanya pertimbangangan dalam bidang ekonomi.

3.3 Daftar Pustaka
Padyan Khatimi, 2011, Pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk mengetahui perilaku konsumen dalam memilih tempat belanja ditinjau dari faktor kualitas barang, kelengkapan barang, jarak dan waktu buka (studi kasus pada masyarakat di kota Depok).

Tugas ini ditujukan kepada Bpk. Seno Sudarmono

0 komentar:

Posting Komentar